Wednesday, April 9, 2008

NEGARA GAGAL, MASIH ADA HARAPAN

Sejak reformasi digulirkan sepuluh tahun yang lalu sistem politik Indonesia menunjukkan kinerja yang buruk. Hal ini bisa dilihat dari rendahnya keseluruhan kapabilitas yang dimiliki oleh sistem politik, yakni kapabilitas ekstraktif, kapabilitas distributif, kapabilitas simbolik, kapabilitas responsif, dan kapabilitas regulatif. Indonesia telah menjadi negara yang sangat lemah (a very weak state), padahal mempunyai sumber daya alam yang sangat melimpah. Ini karena buruknya kinerja sistem politik dalam memecahkan persoalan-persoalan bangsa dan negara. Sehingga menurut Prof Budi Winarno, Guru Besar FISIPOL-UGM, meminjam pandangan Chomsky, Indonesia bisa dimasukkan ke dalam apa yang disebutnya sebagai negara yang gagal atau a failed state (KR, 27/03/2008). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Arbi Sanit, pakar politik UI, bahwa Indonesia negara gagal karena tidak bisa melayani kebutuhan pokok rakyat, tidak bisa melindungi kekayaan (sebagaimana dikutip Victor Silaen (Sindo, 05/04/2008).
Setelah sepuluh tahun reformasi bergulir Indonesia justru berjalan menuju negara gagal, apakah yang salah dan karenanya perlu direformasi ulang ? Bagi Victor Silaen (Sindo, 05/04/2008), reformasi yang sejati bukanlah reformed (telah direformasi) melainkan reforming (yang terus-menerus direformasi menuju kesempurnaan). Dosen Fisipol UKI itu mengajak untuk untuk merenungkan dalam-dalam tentang pelbagai hal yang kiranya perlu direformasi ulang. Pertama, integritas dan kualifikasi calon pemimpin, karena menurutnya, demokrasi yang menekankan perolehan suara mayoritas memang tidak menjamin dihasilkannya para pemimpin berintegritas dan berkualitas. Kedua, pembatasan masa jabatan legislatif sebagaimana presiden, agar demokrasi tak sekedar dimanfaatkan oleh para petualang politik demi mengejar tahta dan harta.
Masalahnya adalah, apakah cukup integritas dan kualitas seorang pemimpin apabila sistem kenegaraan itu sendiri hanya sesuai untuk para petualang politik dan para pemilik modal ?

DARI TIRANI MONARKI KE DOMINASI PEMILIK MODAL

Pengalaman penindasan para tiran pada zaman kegelapan Eropa, menurut para filosof terjadi karena para tiran memiliki kekuasaan yang absolut tanpa batas. Sebagaimana pernyataan Lord Acton: Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Muncullah gagasan trias politika Montesquiue dengan pemisahan kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif, dan yudikatif; yang melahirkan konsep negara republik demokrasi.
Secara teoritis konsep negara demokrasi diharapkan tidak terjadi pemerintah tiranik. Akan pada kenyataannya memunculkan rezim otoritarian baru, yaitu para pemilik modal, yang menguasai ketiga lembaga negara demokrasi. Pada praktiknya negara demokrasi bergeser menjadi negara korporasi, dimana penguasa berkolusi dengan pengusaha (atau bahkan pengusaha itu sendiri yang berkuasa), legislatif pun tidak memihak rakyat justru berpihak pada pengusaha, serta yudikatif yang lekat praktik suap. Dominasi pemilik modal pada akhirnya telah menggantikan peran monarki tiranik dalam menentukan kebijakan negara.
Banyak elit politik Indonesia yang juga dikenal sebagai pengusaha. Sehingga sulit diharapkan peguasa akan benar-benar berpihak kepada rakyat, demikian juga sulit diharapkan parlemen bisa kritis terhadap penguasa, sebab mereka mempunyai kepentingan yang sama, yakni bisnis. Bukan rahasia lagi jika isu suap sering muncul dalam setiap kali DPR membuat UU strategis.
Dominasi pemilik modal tergambar baik dalam kasus BLBI. Melalui payung Inpres 8/2002, Anthony Salim bisa bebas karena mendapat surat keterangan lunas (SKL), demikian juga Syamsul Nursalim pun bebas setelah dihadiahi SKL. Koordinator jaksa penyelidik kasus BLBI Urip Tri Gunawan tertangkap tangan saat menerima suap senilai Rp. 6 miliar, setelah sebelumnya tim yang dipimpinnya mengeluarkan keputusan bahwa BLBI tidak terbukti ada tindak korupsi.
Dominasi pemilik modal juga nampak nyata di negara kampiun demokrasi Amerika. Saat Bush menyerang Irak didukung oleh para politisi AS, bukan karena persoalan memerangi ‘teroris’, akan tetapi persoalan bisnis minyak yang menggiurkan. Demi skenario ‘menguasai’ minyak Irak, skenario kontroversial penghancuran gedung menara kembar WTC terjadi meski dengan pengorbanan ribuan nyawa. Hal ini bisa dimaklumi karena hampir semua politisi AS adalah para konglomerat atau didukung penuh oleh pebisnis kaya. Keluarga Presiden Bush dikenal sebagai konglomerat korporasi minyak. Dick Cheney, wakil Presiden AS, adalah CEO Halliburton.
Keuntungan yang diperoleh korporasi-korporasi negara imperialis jauh melebihi Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa negara Dunia Ketiga, tempat korporasi tersebut mencengkeram. Sebagaimana dirilis EksNas-LMND (22 Februari 2007) tentang laporan pendapatan tahun 2007, ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40,6 billiun atau setara dengan Rp. 3.723.020.000.000.000,- (kurs Rp. 9.170,-). Royal Dutch Shell menyebutkan nilai profit $31 miliar atau setara dengan Rp. 284.270.000.000.000,- sedangkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia belum sanggup menembus Rp. 4.000 trilliun. Negara penghasil minyak lainnya, misalnya Libya ($50.320 juta), Angola ($44.030 juta), Qatar ($42.463 juta), Bolivia (11.163 juta)
Sekali lagi, jika dominasi pemilik modal terjadi di negara kampiun demokrasi Amerika maka wajar juga terjadi juga di Indonesia. Bahkan sangat wajar jika yang berkuasa hanyalah komprador yang lebih berpihak pada kepentingan kapitalis global. Dan wajar pula akhirnya hanya menjadi ‘negara gagal’ yang tidak mampu memanfaatkan kekayaan alamnya untuk mencukupi kebutuhan rakyatnya. Pertanyaan selanjutnya adalah masihkah percaya pada sistem demokrasi yang menjadikan dominasi pemilik modal dan menjadi sarana bagi kapitalis global menjarah kekayaan alam di berbagai negara dan menyengsarakan rakyat ?

ISLAM MENCEGAH OTORITARIAN
Islam sebagai agama yang komprehensif mempunyai metode (thariqah) sendiri untuk mencegah munculnya rezim otoriter. Dalam konsep tata negara Islam, kedaulatan ada di tangan syariah, yakni Allah SWT., dengan sumber hukum Al Qur’an dan As-Sunnah. Khalifah dalam kebijakannya harus merujuk pada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Kalau perintah Khalifah menyimpang dari sumber hukum itu, tidak wajib ditaati bahkan wajib dikoreksi oleh Majelis Ummat, partai politik maupun ummat pada umumnya, sebagaimana dorongan dari sabda Rasulullah Saw.: “Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menentang penguasa zalim dan ia terbunuh karenanya” (HR Abu Dawud).
Sebagaimana manusia biasa khalifah mungkin saja khilaf, dan tetap diadili oleh qadhi mazalim dengan tanpa kekebalan hukum. Bahkan dia tidak bisa memberhentikan qadhi mazhalim jika qodhi itu sedang menyidangkan kasus yang melibatkan dirinya. Dengan demikian hukum syara’ yang bersumber dari Al Qur’an dan As-Sunnah itu betul-betul harus ditegakkan tanpa ada yang menghalangi. Supremasi hukum yang bersumber dari Al Qur’an dan As-Sunnah ini terjaga karena ketaqwaan setiap muslim kepada Allah sebagai pilar utama tegaknya masyarakat Islam, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surah An Nisa’ ayat 59 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”
Ketaatan rakyat kepada ulil amri (penguasa) harus pada koridor syara’ yang bersumber dari Al Qur’an dan As-Sunnah, yang berarti bernilai ibadah. Sebaliknya ketika penguasa melanggar batas syara’ maka tidak boleh ditaati perintahnya, justru wajib dikoreksi agar kembali kepada koridor syara’. Dan aktivitas mengkoreksi penguasa itu bernilai ibadah yang disetarakan dengan pemimpin para syuhada. Inilah makna kedaulatan di tangan syara’, ketundukan kepada sumber hukum yaitu kitab Allah Al Qur’an dan Sunnah Rosul.

NEGARA GAGAL, MASIH ADA HARAPAN
Kegagalan adalah sesuatu yang tidak kita harapkan. Berkali kegagalan memaksa kita untuk introspeksi apakah yang salah dan karenanya perlu dirombak. Berkali perubahan sistem pemerintahan telah kita lalui, dari sistem demokrasi yang cenderung sosialistik Orde Lama hingga kapitalistik Orde Baru dan lebih liberal pada pasca Reformasi. Terlalu absurd jika masih sekedar mempertanyakan integritas dan kualitas figur apalagi sebatas teknis seperti pembatasan legilatif. Fakta bahwa sistem demokrasi yang memunculkan dominasi dan alat penjajahan oleh pemilik modal hendaklah menggugah kesadaran kita untuk membuka diri pada perubahan yang fundamental. Sistem Islam adalah alternatif yang meniadakan dominasi manusia atas manusia lainnya.
Kedaulatan diletakkan pada hukum syara’ yang bersumber dari kitabullah Al Qur’an dan Sunnah Rosul, bukan pada raja atau rakyat apalagi pemilik modal.
Hukum syara’ melarang penguasaan sumber daya alam oleh person (pemodal) karena ibarat menangguk air mengalir (الْمَاءَ الْعِدَّ) yang menyebabkan pemodal kaya raya, sementara negara gagal memenuhi kebutuhan pokok rakyat, sehingga rakyat termiskinkan. Padahal sumber daya air, sumber daya hutan, sumber daya energi adalah kepemilikan umum yang pengelolaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara, sebagai sumber pemasukan Baitul Mal dari sektor kepemilikan umum, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِيْ ثَلاَثَةٍ  فِيْ الْمَاءِ وَالْكَلاَءِ وَالنَّارِ
Kaum muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api. (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).
Hukum syara’ pula yang mewajibkan penguasa mengurusi rakyatnya sebagai pemimpin yang bertanggung jawab, bukan sebagai pedagang atau broker yang mengutamakan kepentingan diri dan berfikir untung rugi, sebagaimana sabda Rosul Saw.:
فَاْلأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ
Seorang pemimpin (penguasa) adalah pengurus rakyat; dia bertanggungjawab atas rakyat yang diurusnya. (HR al-Bukhari).
Akhirnya kembali kepada kita bersama apakah masih akan berharap pada demokrasi dan rela dijajah oleh kapitalis global seraya berharap pada remah-remah belas kasihannya, ataukah kita buka harapan baru dengan sistem Islam. Kesengsaraan oleh imperialisme kapitalis global telah sedemikian nyata dan merata di berbagai negara, sedangkan kesejahteraan rakyat yang tercapai di masa Amirul Mukminin Umar bin Khaththab ataupun Khalifah ‘Umar bin Abdul Azis juga telah menyejarah. Selayaknya marilah tinggalkan demokrasi kapitalis, kita sambut lembaran baru dengan sistem Islam.